Aku adalah selembar daun

Oleh : Budi yusnendar
Di bumi ini aku adalah daun dari sebuah pohon yang kokoh. Aku
dengannya adalah satuan yang tak terpisahkan. Aku selalu berfikir “tanpanya dimanalah lagi aku bisa berada, aku adalah belahan dari
kehidupannya, pohon tercintaku ini kuanggap hampir seluruh dari kehidupanku".
Aku
dilahirkan sebagai sesuatu yang kecil nan rapuh, rawan juga mudah layu. Namun kian hari aku kian menyadari dan menjadikanku penuh syukur; bahwasannya telah Tuhan tempatkan cinta yang amat besar dalam jiwaku; Senilai matahari yang setia terhadap
bumi, sebagaimana tali plasenta pada janin di rahim para
ibu.
Daun memang rapuh, tapi
bukankah cinta sudah ditiupkan pada setiap jiwa. Cinta menguatkan jiwa yang diselimutinya.
Energi itu membuatku selalu berusaha mengabdikan segala yang
aku miliki tanpa sedikitpun ragu.
Untuk pohonku dengarlah ini:
“ Jika hari mulai panas, maka aku lah yang pertama kali layu dan terkulai,.. biar aku saja
jika dingin mulai merasuki seisi bumi
maka aku lah yang pertama akan membeku,...
jangan kamu,
dan jika nanti sekali waktu api datang membakar
maka aku pastikan; aku saja yang terbakar dan musnah untukmu
meski aku rapuh…
tapi biarkan aku yang melindungimu dengan nyawaku
Aku yakin Tuhan maha penyayang, dan aku tahu dia telah ciptakan "garis dan ruang sebagai hak dan pilihan kita yang bisa di ubah dan di upayakan",
meski senilai itu pula Tuhan telah ciptakan "garis yang tak lagi
bisa ditawar, sifatnya mutlak, dan tak
terelakan.
Sebagai
daun, tentu aku takan mampu bertahan begitu lama di atas sini, Aku
hanyalah daun yang akan segera mengering, kemusnahaanku mutlak akan terjadi, aku harus selalu bersiap diri
untuk menghadapi hari akhir dan datangnya detik-detik penghabisan : “ memang mahluk tak ada yang abadi.”
Sungguh cinta telah menjadikan aku sangat menikmati panas yang membakar, dingin yang menusuk bahkan benturan yang menghantam mengoyak tubuh hingga mematahkan tulang di setiap jengkal tubuh lemah ini.
_____________________________
Hingga suatu pagi,
langit tak begitu cerah… burung-burung tak nampak seperti biasanya,
hanya tersisa sedikit burung malam yang bertengger di dahan dengan
kepala terbalik. Rupanya hampir seluruh species bermigrasi dari lahan
hutan tak bertuan ini…
Angin bertiup semakin kencang seperti deru, kali ini awan stratofus cumulus berubah semakin gelap, meski tak hujan, suasana telah berubah begitu mencekam. Desau angin berubah menjadi gemuruh.
Aku ingin menikmati setiap luka yang menghabisiku ini; sebagai rasa sakit yang tak sia-sia…
Rasa sakit yang tumpah untuk selembar cinta. Rasa sakit dari luka-luka yang aku fikir akan berarti. Kuyakini ini adalah siksa yang mengindahkan cinta & pengabdian. Ini Kematian tubuh yang menghidupkan ruh yang lebih bernilai.
Aku dalam
keadaan tak berdaya. Tak mampu mengelak dan beranjak. Kali ini angin menerpaku kencang nyaris tanpa henti. Jelas diluar kemampuanku untuk tetap bertahan. Hingga perlahan rasa sakit
mulai terasa dan terus bertambah setiap detiknya… batang kecil yang
menyatukan aku di dahan pohon mulai terkoyak dan semakin lebar robek menganga.
Hariku sebagai daun berakhir sudah , aku adalah kepingan yang tak lagi sempurna, terpisah dari hal-hal indah dan tinggi. Aku telah jatuh menghujam bumi dan segera akan luluh di telan tanah.
Namun ternyata cinta takan bisa luntur meski karena kehancuran sehebat itu. Cinta juga takan hilang seperti tubuhku yang bisa dihabisi seperti sesaat tadi …
Aku memang daun yang kering,
tempatku memang dibawah sini,
tanah lembab yang tak terhiraukan…
aku tak lagi hijau yang mengindahkan pandangan mata, tubuhku tak lagi tampak seperti daun.
Aku mulai remuk berkeping, terinjak dan akan benam mungkin serata tanah. Perlahan bumi menelanku sedalam tanah tanpa cahaya.
Ada
banyak hal yang bisa kita ciptakan, tapi ada hal yang tak bisa kita
ubah…
sedih rasanya jika mengingat ini, karena aku selalu berfikir bahwa
aku dan pohonku adalah kepingan yang tak sempurna jika berpisah.
Aku tak pernah
peduli tentang berapa adilkah hidup terhadap aku yang hanya selembar
daun ini. Sebaliknya ruh ini begitu peduli tentang sebesar apakah arti dari hidup
selembar daun ini untuk bumi yang amat luas dan kokoh.
Aku juga tak
pernah sungguh-sungguh bertanya: tentang mengapa daun diciptakan
teramat rapuh… hanya saja selalu besar keinginan; agar hidupku yang tak
lama ini memiliki sedikit saja manfaat bagi pohon kokoh yang aku cintai ini.
Sungguh cinta telah menjadikan aku sangat menikmati panas yang membakar, dingin yang menusuk bahkan benturan yang menghantam mengoyak tubuh hingga mematahkan tulang di setiap jengkal tubuh lemah ini.
_____________________________
kupu-kupu dan lebah tak lagi nampak mengitari sesisi taman liar ini,
mungkin karena kelopak dan putik sari bunga sudah berguguran dan melayu.
Matahari
kian meninggi, namun ternyata cahaya tak bertambah terang. Beberapa jam
sudah berlalu di pagi itu, namun panas tak kunjung bertambah.
Angin bertiup semakin kencang seperti deru, kali ini awan stratofus cumulus berubah semakin gelap, meski tak hujan, suasana telah berubah begitu mencekam. Desau angin berubah menjadi gemuruh.
Rupanya musim gugur tiba hari ini, lebih cepat dari dugaanku. Aku kini berada di hari
penghabisanku. Terlintas sebentar saja dalam fikiranku; “ini adalah
detik-detik terakhirku”.
Aku ingin menikmati setiap luka yang menghabisiku ini; sebagai rasa sakit yang tak sia-sia…
Rasa sakit yang tumpah untuk selembar cinta. Rasa sakit dari luka-luka yang aku fikir akan berarti. Kuyakini ini adalah siksa yang mengindahkan cinta & pengabdian. Ini Kematian tubuh yang menghidupkan ruh yang lebih bernilai.
Setiap detik notasi
gemuruh semakin tinggi. Rupanya alam tengah menunjukan kekuatannya. Garis tuhan yang tak "bisa di tawar" kini dihadapan mata.
Sakitnya seperti disayat seribu keeping pecahan kaca. Setiap detik aku
merasakannya seperti dilukai goresan duri. Meski demikian
aku tak ingin segera mengakhirinya, karena ini lah detik-detik
pengorbanan sebagai bukti pengabdian.
Dan akhirnya semua harus berakhir. Semua tentang daun yang melindungi pohon dengan nyawanya kini harus menemui hari penghabisan.
Hari
ini aku harus menyadari, bahwa bukanlah daun yang memiliki pohon,
melainkan pohonlah yang justru memiliki daun…. Semua jelaslah sudah
bagiku.. aku hanyalah daun yang hanya boleh mencintai meski merasa tak dicintai.
-------------------------------------------------------Hariku sebagai daun berakhir sudah , aku adalah kepingan yang tak lagi sempurna, terpisah dari hal-hal indah dan tinggi. Aku telah jatuh menghujam bumi dan segera akan luluh di telan tanah.
Namun ternyata cinta takan bisa luntur meski karena kehancuran sehebat itu. Cinta juga takan hilang seperti tubuhku yang bisa dihabisi seperti sesaat tadi …
Aku memang daun yang kering,
tempatku memang dibawah sini,
tanah lembab yang tak terhiraukan…
aku tak lagi hijau yang mengindahkan pandangan mata, tubuhku tak lagi tampak seperti daun.
Aku mulai remuk berkeping, terinjak dan akan benam mungkin serata tanah. Perlahan bumi menelanku sedalam tanah tanpa cahaya.
Tapi
sekali lagi cinta membuktikan dirinya sebagai ruh yang maha indah.
Mungkin tak
semua cinta membawa kita menjadi pribadi sempurna, tapi ternyata cinta mampu
menuntun kita untuk penuh rasa syukur.
Cinta yang sungguh akan menutup mata dari rasa benci dan marah atas segala yang salah. Cinta yang tulus menujukan seperti apa indahnya
tetap peduli meski tak dipedulikan.
Cinta menuntun kita dari ketersesatan jiwa, lalu memandu kita ke tempat yang agung, tempat dimana jiwa kita seharusnya berada.
Aku daun
kering yang hancur sedemikian rupa, tak lagi mampu melihat
keindahan selain cintaku terhadap pohon yang kokoh ini. aku hancur dan
mulai larut menjadi hara. Aku kini hanyalah molekul yang pasti tak lagi
mampu dilihat mata.
Tapi dalam keadaan seperti ini-pun aku
tetaplah makhluk ciptaan yang maha memiliki cinta, akan kubuktikan bahwa Tuhan tak sia-sia memiliki aku. Akan ku harai tanah tak bertuan
ini agar tumbuh rindang setiap pohon dimana siapapun bisa berteduh.
very nice bro... i like it
BalasHapusokay
BalasHapus