ADAKAH DIA CEMBURU ?

Oleh : Budi Yusnendar


Hari ini adalah hari pertama kepergiannya
ada “serupa” rasa sesal yang tiba-tiba hadir 
sepertinya aku telah melewatkan sesuatu yang berharga dengan cara yang tak istimewa
perasaan-perasaan itu begitu terasa di pagi ini 
rasa itu seperti memiliki kemiripan dengan rasa kehilangan

Di pagi masih menyisakan dingin yang sejuk
kaki ini seolah tahu melangkah dari beranda mesjid menuju pulang
Sementara akal dan hati seolah mengajak  untuk memahami sesuatu
-----------------------------------------
Aku tak mampu melukiskan….
Betapa bahagianya jika menjumpai kekasih hati yang telah lama menanti, bertemu setelah lama menunggu.  Menantinya seperti memberi ruang untuk bersiap diri. Menunggunya seolah menjadi waktu untuk menata rindu menggebu yang terus menumpuk tak terbendung. Seperti itulah kiranya Dia. 

Akhirnya senja indah itu datang, kemilaunya berwarna emas kemerahan seolah memahami betapa sesungguhnya ada sesuatu yang indah tengah terjadi dan akan diukir menjadi cerita di surga nanti. 

Meja makan dipenuhi minuman dan hidangan lezat menggambarkan betapa pertemuan ini sangatlah berarti. Sebagian keluarga berkumpul menyambut, menyimak apa yang dibicarakan dan diceritakan. Tak terlukis indahnya bisa saling menasehati dengan penuh kasih sayang, pasti lega rasanya saling mengingatkan dengan tulus dan berlapang dada.  Meja hidangan itu menjadi saksi betapa indahnya pertemuan itu. 

Tak terasa senja keemasan itu mulai terlihat redup, tandanya gelap segera datang. Meja makan dirapihkan lalu semua beranjak untuk bersuci. 

Hari terus berganti, hangatnya pertemuan di  senja keemasan itu masih terasa. Rasa bahagia seperti itu tentunya akan tersimpan indah dalam setiap hati yang  mendapati kenyataan; bahwa ada yang begitu tulus untuk bersabar  menunggu lalu menyambut dengan sukacita dan tulus membersamai.  
Bersama yang istimewa; perjumpaannya tentu penuh suka cita, perpisahannya pun menyisakan kehilangan.  Meski tak meninggalkan luka; kehilangan tetaplah sesuatu yang membentangkan jarak bahkan waktu.  Bagi para sufi;  kehilangan seperti ini bisa berarti terpisahkan  di dalamnya bukanlah berisi penderitaan yang melukai hati. Bagi nya penantian itu seperti narasi yang mengindahkan jiwa. Menurutku ini tentang ruh; maka bersamanya tak mensyarat kehadiran tubuh. Karena ternyata kehadiran yang sesungguhnya ada pada jiwa, tempatnya dalam qolbu di kedalaman hati. 
Langkahku terhenti di depan pintu rumah, cahaya mentari pagi masih terasa hangat dipunggung, sesekali tiupan angin pagi; halus menerpa bagian punggung yang sama, bergantian seolah hendak membentuk sebuah irama. Paduan hangat dan kesejukan dengan jeda yang seperti beraturan lembut.   Irama seperti itu membangunkan kesadaranku dengan perlahan namun jelas; bahwa ini bukanlah mimpi atau ilusi. Lalu perlahan kubuka pintu,  aku mendapati begitu banyak minuman dan hidangan di meja yang tertata rapih. 
Meja pada senja keemasan itu didepan mata, perlahan ada bayang tergenang dipelupuk sepasang mata ini, berisi tumpahan tanya dan ragu mengenang tentang apa yang telah terjadi. Akhirnya hati  seolah berbisik meragukan banyak hal.
Akankah kita kecewa jika kehadiran disambut dengan senyum dan sikap hangat yang palsu dari kekasih
Akankah kita merana jika yang membersamai ternyata tak sepenuh hati 
Akankah mengharapkan perjumpaan kembali,  jika hadir, bersama, dan berpisah  seperti ini dikotori kemunafikan.

Adakah kemenangan itu, sementara Ramadhan telah berlalu.
Kitakah kekasih munafik itu, yang merayakan kemenangan  dengan suasana hati dan cara yang entah apa.

Semoga Tuhan mengampuni

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aturan Pergantian Antar Waktu ( PAW ) Anggota DPR/ MPR

Tuan Baik dan Tuan Buruk

Surat tak terkirim ( Bulan dan Bintang)